Oleh
Husni Umair
Ash-Shiddiq
NIM 145211047
Program
Studi D-III Administrasi Niaga
Prodi Administrasi Bisnis
Politeknik Negeri Bandung
Jln. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga, Bandung 40559
Prodi Administrasi Bisnis
Politeknik Negeri Bandung
Jln. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga, Bandung 40559
Abstract
Sick Building Syndrome is a set of symptoms
experienced by the occupants of the building that got disturbances for the air
circulations, associated with the time they spent in that building, but no
specific illness or causes that can be identified. Sick building syndrome isn’t
the only disease that can be diagnosed right away to workers in the building.
Asthma, rhinitis and allergic conjunctivitis are some kind of allergic disease
that has symptoms similar to SBS. Headache and lethargy are nonspecific
symptoms that may occur in the majority of disease and can be related to
occupational exposure. The symptoms can be preventable with repair the building
and the surrounding environment. How to create ventilation in accordance with
rules set by the government so that the incoming air and light enough to avoid
the occurrence of SBS.
Keywoard :
Symptoms, Syndrome, disease, building.
Pendahuluan
Dengan
berkembangnya zaman sekarang banyak juga bangunan-bangunan tinggi dibangun
dengan struktur lebih tertutup dan umumnya dilengkapi oleh sistem sirkulasi
udara serta pendingin buatan untuk menciptakan kondisi kerja yang nyaman. Tetapi,
di pihak lain juga kiya harus mengelnal kemungkinan adanya gangguan kesehatan
pada gedung tersebut yang akan mengakibatkan penurunan kinerja para karyawan
yang bekerja di dalam gedung tersebut. Udara luar yang masuk melalui ventilasi
gedung akan berkurang karena tingginya gedung tersebut bahkan udara tersebut
bisa mencapai titik nol, hanya udara sirkulasi yang digunakan untuk bernapas.
Hal tersebut menyebabkan buruknya kualitas dalam ruangan dan terdapat banyak
radikal bebas yang bersumber dari asap rokok, ozon dari mesin fotokopi,
printer, serta peralatan kantor lainnya yang akan menyebabkan “sick building
syndrome”.
Sick building
syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit ini dikenal sejak tahun 1970. Pada
tahun 1980 kedokteran okupasi memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah
ksehatan akibat lingkungan kerja yang berhubungan dengan polusi udara dalam
ruangan , Indoor Air Quality (IAQ) dan
buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Health Organization (WHO) tahun
1984 melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada
pekerjanya
yang dihubungkan dengan IAQ.
Sick building
syndrome terjadi akibat kurang baiknya rancangan, pengoperasian dan
pemeliharaan gedung. Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak
sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara
lain dapat berupa batuk-batuk kering, sesak, sakit kepala, iritasi di mata,
hidung dan tenggorok, kulit yang kering dan gatal, lethargy, fatique, mual, dan
lain-lain. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu,
tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting sangat
berpengaruh terhadap produktifitas kerja karyawan. Gejala tersebut akan
berkurang atau hilang bila pekerja tidak berada di dalam gedung, hal tersebut
dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.
Pengertian Sick Building Syndrome (SBS)
Istilah Sick
Building Syndrome (SBS) atau juga dikenal dengan Sindrom gedung sakit pertama
kali dikenalkan oleh para ahli di Negara Skandnavia pada awal tahun 1980-an.
Istilah SBS dikenal juga dengan Tigh
Building Syndrome (TBS) atau Nen Spesific Building-Related Symptomps (BRS).
Karena sindrom ini umumnya ditemukan dalam ruangan gedung-gedung pencakar
langit.
Sindrom gedung
sakit adalah kumpulan gejala akibat adanya gedung yang “sakit” artinya terdapat
gangguan pada sirkulasi udara dalam gedung itu. Gangguan itulah yang
menyebabkan gedung tersebut dikatakan “sakit” sehingga timbul sindrom ini yang
memang terjadi karena penderitanya menggunakan suatu gedung yang sedang sakit.
(Aditama, 2002).
Menurut Burge
(2004), Sick Building Syndrome (SBS) terdiri dari sekumpulan gejala iritasi
mukosa, kulit, dan gejala lainnya terkait dengan gedung sebagai tempat kerja.
Penyebabnya adalah gedung yang tidak terawat dengan baik.
Sedangkan Soemirat Slamet dalam (Sujayanto, 2001) mengutarakan bahwa Sick Building
Syndrome adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan
saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dialami oleh orang yang hidup atau
bekerja di gedung yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik.
Maka penulis
dapat menarik kesimpulan dari tiga pendapat diatas bahwa Sick Building Syndrome
atau juga yang dikenal dengan Sindrom Gedung Sakit adalah gejala-gejala yang
menyerang saluran pernafasan orang-orang yang berada didalam ruangan atau
gedung yang memiliki ventilasi atau saluran udara kurang baik dan juga gedung
yang tidak terawat yang menyebabkan udara-udara didalam ruangan tersebut kurang
baik untuk para karyawan kantor.
Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome
Kejadian Sick
Building Syndrome sangat berkaitan dengan kondisi gedung terutama rendahnya
kualitas udara dalam ruangan. Berbagai bahan pencemar udara (kontaminan) dapat
mengganggu lingkungan udara disekitar dan didalam gedung (Indoor Air Environment) ada 4 mekanisme utama dalam gejala ini :
1.
Gangguan kekebalan tubuh (Immunologik)
2.
Terjadinya Infeksi
3.
Bahan pencemar yang bersifat racun
(Toksik)
4.
Bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan gangguan
kesehatan.
Gangguan pada
sistem kekebalan tubuh dipengaruhi oleh zat-zat yang di konsumsi oleh para
penderita. Sedangkan bahan yang bersifat kimia akan banyak diserap oleh orang
usia muda dan tua di banding pada orang dewasa. Biasanya sangat sulit menemukan
suatu penyebab tunggal penyakit sick building syndrome.
Dan penyebab
utama pada sick building syndrome ini adalah bahan kimia yang digunakan manusia
seperti pada sirkulasi udara serta faktor seperti kelembaban, suhu dan aliran
udara dalam ruangan. Sehingga akan mudah bagi orang yang lama tinggal disuatu
ruangan menderita gejala tersebut.
Penyebab lain
dari gejala tersebut adalah :
a.
Kualitas Ventilasi Udara
Ventilasi
merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam gedung untuk aliran udara
dalam ruangan. Dan juga ini salah satu bagian penting yang menyebabkan
terjadinya gejala sick building syndrome. Seharusnya standar ukuran bukaan untuk ventilasi yang ideal bergantung
pada luas ruangan. Menurut arsitek Tiffa Nur Latiffa, Standar Nasional
Indonesia mensyaratkan luas bukaan termasuk fungsi untuk memasukkan cahaya,
adalah minimal 20 persen dari luas lantai ruangan. “Sementara untuk bangunan
kantor, pabrik, dan sebagainya adalah 10 persen dari luas ruangan”. Maka dari
itu ventilasi di dalam kantor harus sesuai dengan SNI agar tidak memicu
terjadinya proses pengaturan suhu yang tidak efektif yang akan membuat para
penghuni ruangan lebih mudah terkena gejala SBS. Ventilasi dalam lingkungan
kerja ditujukan untuk mengatur kondisi kenyaman bagi para penghuni ruangan, memperbaharui
udara dengan pencemaran udara dalam ruangan pada keadaan normal dan juga
menjaga kebersihan udara dari kontaminasi yang berbahaya.
b.
Zat pencemar kimia
bersumber dari dalam ruangan
Pencemaran tersebut dikarenakan banyaknya polusi-polusi udara yang
bersumber pada ruangan tersebut seperti gas pada pembersih karpet, mesin
fotocopy, tembakau dan termasuk formaldehid yang merupakan gas tidak berwarna
yang sangat tajam baunya apabila terhirup. Partikel-partikel yang ada dalam
ruangan tersebut sangat bermacam-macam mulai dari hasil pembakaran dari proses
memasak dan merokok, serta debu dari pakaian yang para karyawan gunakan ketika
masuk kantor, karpet, asbes bangunan, dan juga serat fiberglass yang terdapat
dalam saluran pipa AC. Secara umum orang yang terkena partikel-partikel
tersebut akan mengalami alergi sepeti mata kering, problem kontak lensa mata,
iritasi hidung, tenggorokan dan kulit, batuk-batuk dan sesak nafas.
c.
Zat pencemar kimia yang
bersumber dari luar gedung
Udara yang masuk berasal dari ventilasi bisa merupakan suatu sumber
polusi udara dalam gedung. Seperti knalpot dari kendaraan bermotor, pipa
ledeng, lubang angin dan semua bentuk partikel baik yang padat maupun cair yang
bisa masuk melalui lubang angin atau jendela. Bahan yang mungkin ada dalam
ruangan gedung tersebut antara lain :
1.
Gas karbonmonoksida
2.
Nitrogen dioksida
3.
Dan berbagai bahan
organik lainnya.
Kadar CO yang tinggi akan mengakibatkan buruk bagi karyawan yang menghirupnya
dan juga akan menimbulkan kerusakan pada bagian otak dan jantung.
d.
Zat Pencemar Biologi
Bakteri, Virus, dan Jamur adalah jenis pencemaran biologi yang berkumpul
pada suatu ruangan, juga di dalam pipa saluran udara, dan alat pelembab udara
serta berasal dari pembersih karpet. Biasanya Virus dan Bakteri akan banyak
terhisap oleh para karyawan ketika siang hari karena udara dalam gedung yang
sedang banyak melakukan kontaminasi dengan lingkungan. Hal ini yang sering
menimbulkan para karyawan terkena penyakit batuk-batuk, bersin, dan juga pusing
kepala. Pekeja juga bisa mengedap penyakit seperti
·
Humidifier fever yaitu suatu penyakit yang sebabkan oleh organisme yang menyebabkan sakit
saluran pernfasan dan alergi. Organisme ini biasanya terdapat dan hidup pada
air yang terdapat sistem pendingin.
· Legionnair disease
penyakit ini juga berhubungan dengan system
pendingin dalam ruang namun disebabkan oleh spesifik batkeri terutama bakteri legionella pneumorphila. Penyakit ini
terutama akan lebih berbahaya pada pekerja yang sudah lanjut usia. Reaksi legionella memang sering tidak disertai
gejala mencolok bahkan seperti flu biasa. Paling-paling hanya demam, menggigil,
pusing, batuk berdahak, badan lemas, tulang ngilu dan selera makan jadi
menghilang.
e.
Faktor Keadaan Lingkungan Gedung
Ketika di dalam gedung pasti banyak para karyawan yang menginginkan suhu
udara yang nyaman dengan kondisi dengan dirinya ketika melakukan pekerjaan
kantor. Namun ada beberapa masalah yang akan dihadapi mereka ketika temperatur
dalam ruangan tidak cukup, kelembaban dan pencahayaan merupakan faktor
fisik pemicu timbulnya gejala SBS. Pada kelembaban tinggi diatas 60% dan dalam
keadaan yang hangan maka ruangan tersebut kurang cocok karena keringat para
karyawan tidak mampu untuk menguap sehingga akan menimbulkan udara yang panas
dan akan merasa lengket. Dan ketika kelembaban rendah dibawah 20% akan
mengakibatkan temperatur yang kering dan menimbulkan embun menguap lebih mudah
dari keringat, sehingga selaput lendir dan kulit akan, kerongkongan serta
hidung akan terasa mengering akibatnya kulit akan
menjadi gatal-gatal dan yang lebih parahnya akan mengakibatkan sakit
kepala dan kekauan pada mata yang akan berdampak pada kinjera para karyawan
kantor.
Menurt Tarwaka
& Bakri (2004) Iklim kerja merupakan faktor lingkungan fisik yang berperan
dalam perlindungan bagi tenaga kerja terhadap bahaya kesehatan dan keselamatan
Kerja. NAB terendah untuk iklim kerja adalah 21 – 30 oC pada kelembaban nisbi
65 – 95% (SE Menaker No. 01/Men/1978). Comfort zone pada negara dengan
dua musim seperti Indonesia, Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu
tinggi sebesar 35-17
40OC;
kecepatan gerak udara 0,2 m/detik; kelembaban antara 40-50%; perbedaan suhu
permukaan <4oC.
f. Pencahayaan
Hal ini sangat perlu diperhatikan ketika di dalam
ruangan terutama ketika malam hari atau sedang berlembur. Karena dengan
pencahayaan yang kurang akan menimbulkan kerusakan-kerusakan pada mata yang
bisa mengakibatkan kinerja para karyawan terhambat dan memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam bekerja. Menurut surat edaran PERMENKES No.SE-01/MEN/1987
tentang besarnya illuminasi yaitu 300-900 Lux. Jadi standar pencahayaan gedung
harus sesuai dengan peraturan yang telah disesuaikan oleh pemerintah agar tidak
terjadinya kesalahan dalam bekerja akibat pencahayaan yang kurang atau lebih.
Tabel 1.1
Kecepatan
gerak udara yang direkomendasikan untuk ruang
kerja yang
disesuaikan dengan suhu dan kelembaban ruangan setempat.
SUHU
|
KELEMBABAN (
% )
|
KECEPATAN UDARA
|
||
Suhu Kering
oC
|
Suhu Basah
oC
|
Minimum
( m/det )
|
Maksimum
( m/det )
|
|
21
24
24
24
27
27
27
29
29
29
32
32
32
|
19
16
18
21
16
19
23
16
19
23
17
22
26
|
80
40
60
80
30
50
75
25
45
65
20
40
60
|
0,15
0,15
0,25
0,25
0,25
0,40
0,50
0,40
0,50
0,80
0,50
0,80
1,00
|
0,30
0,30
0,40
0,50
0,50
0,50
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
1,00
|
Sumber : Tarwaka & Bakri 2004
Gejala Sick
Building Syndrome
Gejala dan gangguan SBS seringkali berupa penyakit
yang tidak spesifik, tetapi menunjukkan pada standar tertentu, misal berapa
kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran
pernafasan. Biasnaya banyak karyawan yang mengeluh hanya ketika sedang didalam
ruangan atau di dalam gedung tersebut dan akan menghilang sendirinya ketika
akhir minggu atau hari libur yang dimana para karyawan tidak mempunya aktivitas
di dalam kantor.
Keluhan ini akan menjadi masalah apabila ada karyawan
yang mengalami stress, kurang di perhatikan atau kurang mampu mengubah sikap
bekerja yang akan mengakibatkan kemungkinan adanya kesalahan dalam bekerja.
Keluhan-keluhan yang sering terjadi didalam kantor bisa
bermacam-macam tingkatannya karena banyak karyawan yang mengalami hanya
beberapa efek saja berikut keluhan dan gejala yang terdapat didalam kantor :
1. Iritasi selaput lendir
Gejala ini biasanya hanya terjadi pada mata yang akan
membuat menjadi perih, merah dan berair.
2. Iritasi Hidung
Gejala ini biasanya terjadi pada tenggorokan, sakit
menelan, gatal-gatal, bersin dan batuk-batuk.
3. Gangguan neorotoksik
Gejala ini akan mengakibatkan gangguan saraf dan
gangguan kesehatan secara umum. Seperti sakit kepala, cepat lelah, lebih mudah
tersinggung, dan yang paling parah sulit untuk berkonsentrasi.
4. Gangguan pernafasan dan paru-paru
Seperti gangguan pada bunyi nafas, batuk-batuk, sesak
nafas dan dada terasa berat.
5. Gangguan Kulit
Seperti gatal-gatal dan kulit menjadi kering.
6. Gangguan saluran pencernaan
Gejala ini akan mengakibatkan para karyawan terkena Muntaber
dan Diare
7. Gangguan lain-lain
Gejala ini yang paling parah karena akan mengakibatkan
gangguan perilaku gangguan saluran kencing, dan demam.
Para karyawan bisa dinyatakan menderita SBS apabila
mereka memiliki keluhan-keluhan seperti yang diatas kurang lebih 2-3 hari dan
untuk mengetahui pasti bahwa para karyawan ada yang menderita SBS minimal harus
20-50% para karyawan yang menderitanya. Dan keluhan tersebut biasanya menetap
setidaknya dua minggu.
Berikut tahap-tahap untuk mengetahui karyawan yang
terkena gejala SBS, yang pertama adalah dengan cara hipotesis kimia bahwa volatile
organic compunds (VOCs) yang berasal dari perabot kantor, karpet,
cat serta debu-debu yang ada di sekitar ruangan. Dan juga gas-gas yang
bercampur di udara seperti karbon monoksida atau formaldehid yang terkandung
dalam pewangi ruangan dan bisa menginduksi respon reseptor terutama pada hidung
dan mata. Iritasi saluran napas menyebabkan penyakit asma dan rinitis melalui
interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel
mast dan pengeluaran mediator inflamasi
yang menyebabkan bronkokontriksi. Dan ini juga mengakibatkan pergerakan silia
menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan
produksi lendir akibat iritasi oleh radikal bebas tersebut, rusaknya sel-sel
pembunuh bakteri disaluran napas dan merangsang pertumbuhan sel yang
mengakibatkan kesulitan untuk bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme
lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.
Hipotesis kedua adalah hipotesis bioaeorosol banyak
peniliti menunjukan bahwa individu yang
mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOC karena mereka
memiliki konsentrasi yang rendah dibandingkan yang lain. Dan Hipotesis yang ke
tiga adalah Faktor Penjamu yaitu kerentanan individu mempengaruhi timbulnya
gejala-gejala. Bisa timbul karena faktor stress karena pekerjaan dan faktor fisiksosisal juga bisa
mempengaruhi timbulnya gejala SBS.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya SBS
Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan SBS sangat bervariasi. Paling dominan adalah gedung atau bangunan
itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik. Namun
faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin wanita, riwayat alergi,
stress emosional yang terkait dengan pekerjaan, memberikan andil
bagi timbulnya SBS (Anies, 2004:54)
Ada tiga faktor yang bisa
menyebabkan karyawan terserang gejala SBS antara lain :
1.
Usia
Dengan faktor usia yang semakin tua maka kemampuan sistem organ di dalam
tubuh juga akan menurun. Dan jika sistem organ menurun maka dengan otomatis
daya tahan tubuh pun akan menurun, dan itulah yang menjadi cela sehingga lebih
mudah terkena gejala Sick Building Syndrome.
2.
Waktu Bekerja
Waktu bekerja sangat berpengaruh terhadap keadaan fisik karyawan karena
semakin lama dia bekerja makan stamina yang diperlukan juga harus banyak. Dan
apabila karyawan waktu bekerjanya sangat lama apalagi hingga lembur maka
kemampuan dan stamina akan menurun sehingga akan lebih mudah terserang Sick
Building Syndrome.
3.
Status Gizi
Status gizi juga harus diperhatikan oleh para karyawan karena dengan
gizi yang baik maka kualitas para karyawan juga akan lebih optimal dibandingkan
dengan para karyawan yang sedang memiliki gizi buruk akan menurunkan efesiensi
kerja sehingga akan menimbulkan terserangnya gejala Sick Building Syndrome.
Cara pencegahan penyakit Sick Building
Syndrome
Ada pepatah mengatakan bahwa lebih baik mencegah daripada mengobat.
Kalimat tersebut sangat cocok dengan apa yang harusnya kita lakukan ketika
mendengar adanya penyakit Sick Building Syndrome.
Pencegahan harus dilakukan dari mulai perencanaan pembuatan gedung untuk
kegiatan kantor atau kegiatan tertentu, dimulai dari pemilihan bahan bangunan
contohnya seperti pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, atap
ruangan, sampai alat-alat kantor. Dan yang perlu kita perhatikan adalah bahan
bangunan terutama yang berasal dari hasil tambang contohnya asbes. Sangat
dianjurkan agar sisi bangunan harus memiliki desain yang berdingding tipis dan
juga memiliki sistem udara yang baik. Perlu diperhatikan bahwa gedung yang
memiliki ventilasi udara yang baik maka akan berakibat positif bagi para
penghuninya. Karena akan mengurangi beberapa dampak negatif seperti
mikroorganisme yang masuk melalui ventilasi udara.
Kemudian selanjutnya yang perlu ditekankan adalah kebersihan dalam
kantor. Terutama dalam karpet-karpet yang digunakan sebagai pelapis dingding
ataupun lantai yang kemungkinan akan menimbulkan gejala SBS harus dibersihkan
secara rutin dengan
menggunakan alat penyedot debu dan dalam waktu tertentu juga perlu
dilakukan proses pencucian karpet tersebut. Demikian juga dengan AC harus
dibersihkan secara rutin agar tidak adanya kotoran-kotoran atau debu-debu yang
menjadi penganggu saluran udara tersebut. Dan juga tata letak peralatan
elektrontik kantor
yang menghasilkan gelombang-gelombang elektromagnetik, karena radiasi
dari peralatan elektronik tersebut tidak bisa dipandang dari segi ergonomik
saja melainkan memberi peluang juga untuk terjadinya gejala Sick Building
Syndrome.
Serta yang harus diperhatikan bagi para karyawan yang merokok perlu di
sediakan smoking area dan juga harus memiliki ventilasi yang cukup hal ini juga
cukup untuk mencegah timbulnya asap rokok
yang berpengaruh bagi kesehatan para karyawan dan juga celah untuk
terkenanya penyakit SBS.
Solusi
Penanganan Sick Building Syndrome
Solusi
penanganan dan pencegahan Sick Building Syndrome, antara lain sebagai berikut:
1. Memperbaiki sistem tata udara
dan AC dalam gedung dapat menjadi salah satu cara mengurangi polutan yang
terdapat dalam gedung. Seminimalnya, mesin penghangat ruangan, sistem
ventilasi, dan sistem pendingin ruangan (AC) harus dirancang untuk memenuhi
syarat minimum dari sistem tata udara yang baik dalam suatu gedung. Pastikan
bahwa sistem tata udara telah beroperasi dan dipelihara dengan memperhatikan
ventilasi dan pertukaran udara yang baik. Jika diketahui adanya sumber polutan
berbahaya yang dikeluarkan oleh AC, harus ada saluran pembuangannya yang
langsung mengarah ke luar bangunan. Cara ini biasanya dilakukan untuk membasmi
polutan yang banyak terdapat pada area tertentu dalam bangunan, seperti toilet,
ruang fotokopi, serta ruang khusus merokok.
2. Memindahkan
ataupun memperbaiki sumber polutan dalam gedung adalah salah satu cara paling
efektif dalam membasmi polutan-polutan berbahaya dalam gedung. Cara ini
termasuk dengan pemeliharaan rutin terhadap system pendingin ruangan (HVAC),
membersihkan tempat-tempat yang menjadi tempat menggenangnya air, pelarangan
merokok dalam gedung ataupun menyediakan tempat khusus merokok dengan ventilasi
yang langsung mengarah ke luar bangunan, dan lain-lain.
3. Memasang
penyaring udara. Hal ini sebenarnya tidak lantas membuat udara menjadi bersih
dan bebas polutan, namun cukup efektif dalam mengurangi jumlah polutan yang
masuk ke dalam gedung
Cara mengobati karyawan yang terkena
gejala SBS
·
Medika Mentosa
Pengobatan dilakukan secara medikal.
a)
Decongstan
Membantu melancarkan pernafasan dan pengluaran lendir
dari hidung.
b)
Dextromethorpan atau
ambroxol
Membantu mengeluarkan dahak atau mencairkan dahak
c)
Paracetamol dan aspirin
Membantu menurunkan demam dan sakit kepala
d)
Antibiotik erythomycin
Untuk penyakit seperti Legionnare.
Non Medikal Mentosa
a)
Menghilangkan sumber
kontaminasi penyebab SBS misalnya dengan pembersihan AC secara berkala
b)
Jangan Merokok, karena
bisa memperberat penyakit.
c)
Menghilangkan sumber
polutan. Jika suatu gedung telah dinyatakan terkena SBS maka perlu dilakukan
pemeriksaan menyeluruh untuk mencari sumber polutan yang dominan. Setelah
sumber tersebut ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah menghilangkat sumber
polutan tersebut.
d)
Meningkatkan laju
pertukaran udara. Ini dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi terhadap
sistem ventilasi yang telah ada yang disesuaikan dengan standar operasional ventilasi gedung.
e)
Membersihkan udara yang
disirkulasikan di dalam gedun. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
filter yang dapat menyaring udara sebelum masuk ke dalam ruangan kantor.
f)
Menjaga temperatur dan
kelembapan agar tetap stabil dengan kebutuhan para karyawan.
g)
Jendela sedapat mungkin
harus dibuka untuk melancarkan proses pertukaran udara dalam dan udara luar.
Kesimpulan
Gedung yang baik adalah gedung yang dimana orang yang berada di gedung
tersebut merasa nyaman dan terkendali. Karena dengan berada di gedung tersebut
orang yang ada di dalam gedung tersebut bisa mengerjakan pekerjaan secara
efeketif dan tidak terganggu oleh hal-hal tertentu, maka dari itu gedung
tersebut bisa dikatakan bebas dari gejala yang namanya Sick Building Syndrome
atau bisa disebut Sindrome gedung sakit yang artinya bahwa banyaknya gangguan
pada gedung tersebut yang berdampak bagi orang-orang yang menempati gedung tersebut.
Dengan seiring zaman yang modern dan kemajuan teknologi sehinggal menghasilkan
alat-alat elektronik yang dipakai di dalam gedung. Hal ini dapat disebabkan
karena ventilasi udara yang kurang, lalu temperatur dan pencahayaan yang tidak
cocok bagi kondisi gedung, banyaknya partikel-partikel udara yang mencampur
sehingga sering terhisap oleh orang yang ada digedung tersebut dan yang lebih
bahayanya karena gedung tersebut kotor dan jarang dibersihkan yang bisa
menyebabkan gejala SBS tersebut terjadi. Bukan hanya di dalam gedung saja
penyebab yang bisa memicu terjadinya SBS tetapi dari luar pun bisa menjadi
penyebab karena udara-udara yang masuk belum tersaring dengan baik oleh
ventilasi atau AC. Memang
penyakit yang dialami penderita hanya sebatas batuk-batuk, pilek, sakit
kepala, dan mual-mual tetapi lama-kelamaan bisa menjadi berbahaya karena dapat
menimbulkan penyakit TBC, kanker dan Asma. Semua itu sangat rentan terjadi
apabila gedung tersebut tidak dibenahi secara cepat karena bisa berdampak buruk
bagi kinerja para karyawan yang ada di dalam gedung tersebut.
Jadi hal yang haruts dilakukan adalah dengan memperbaiki gedung tersebut
dan lingkungan sekitarnya. Caranya dengan membuat ventilasi yang sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sehingga udara dan cahaya yang
masuk cukup untuk menghindari terjadinya SBS. Dan juga sering membersihkan
alat-alat kantor yang rawan untuk sarangnya penyakit seperti AC, Mesin
Fotocopy, Karpet, dan yang lainnya.
Daftar Pustaka
Aditama TY,
Andarini SL. Sick building syndrome. Jakarta: Med J Indones; 2002. Page 124-31.
Aditama Y.C dan Hastuti, T., 2002.Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.
UI. Jakarta; Environmental
Anies.2004. Problem Kesehatan Masyarakyat dari Sick Building Syndrome. Jurnal
Kedokteran Yarsi, Jakarta
Guntoro, Heru. 2008. Sick Building Syndrome Penyakit bisa
bersumber dari Kantor. Www.sinarharapan.co.id 25 Desember 2015
Kurnia, Indra. Sick Building Syndrome. www.phitagoras.co.id 27 Desember 2015
Mukono, dkk. 2005. Pengaruh Kualitas Udara dalam Ruangan ber-AC
terhadap gangguan kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 11 No 2 Januari 2015
Munif. 2015. Penyakit
dan Mikroba Penyebab Sick Buil...ding Syndrome. http://helpingpeopleideas.com/publichealth/penyakit-dan-mikroba-penyebab-sick-building-syndrome/ 29 Desember 2015
NM. 2013. Pengertian, Penyebab,dan gejala Sick
Building Syndrome. http://www.indonesian-publichealth.com/2013/07/sick-building-syndrome.html 28 Desember 2015
Soedomo, Moestikahadi.
2001. Kumpulan Makalah Pencemaran Udara.
Bandung: Penerbit ITB Bandung
Stenberg, Berndt,dkk.
1994. The Sick Building Syndrome (SBS) in
Office Workers A Case-Referent Study of Personal, Psychososial and Building
Related Risk Indicators. The International Journal of Epidemiology Vol.23,
no.6
Utami ET. Hubungan antara
kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building sindrome.
Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005.
